Nama : Oktarisa Yohana Maria
Kelas : 2eb22
NPM : 25210262
Dimanakah Kau, Lastri?
Pukul 22.30 Wib, aku beranjak dari tempat tidur. Entah mengapa, malam itu aku begitu sulit memejamkan mata sedetik pun. Segera aku membuka pintu kamarku, lalu berjalan mengitari koridor-koridor asramaku menghirup udara malam itu. Lima belas menit lamanya, aku kemudian kembali ke kamar. Aku tidak langsung merebahkan tubuhku di tempat tidur, melainkan duduk di atas kursi belajarku.
"Menyambut Pagimu," demikian judul buku yang terpampang di depanku. Aku lalu membolak-balik buku itu dan membacanya sebentar. Setelah itu, aku kembali meletakkannya ke tempat yang semula. Kini, tatapanku tertuju pada sebuah agenda berwarna hitam yang tersusun di rak buku. Hadiah yang ku dapatkan dari seorang teman di hari ulang tahunku.
Hello, diary
Malam ini aku begitu sulit memejamkan mata, padahal aku begitu letih. Aku mencoba mencari penyebabnya, tetapi hingga saat ini aku belum menemukan sesuatu yang mengganjal di hatiku.
***
"Lastri … Las ...” aku terbangun dari tidurku. Aku menatap ke sekelilingku. Tidak ada siapa pun di kamarku. Ternyata, aku hanya bermimpi Lastri datang mengunjungiku.
"Ah …," desisku. Aku akhirnya menemukan jawaban atas kegelisahanku sebelum tidur tadi. Ya, Lastri . Tanpa kusadari dirinya yang telah membuat hatiku galau. Aku ingin bertemu dengannya. Setahun yang lalu, aku terakhir kali bertemu dengannya. Saat itu, aku memberikan sekuntum bunga padanya sebagai tanda aku sahabatnya. Sahabat yang selalu mendoakan dan mendukungnya.
"Bram, bagaimana kabarmu. Mengapa kamu semakin kurus?" tanya Lastri saat itu padaku.
"Aku ikut program langsing sedunia," candaku. Kami pun tertawa bersama.
" Lastri, bagaimana kabarnya sepertinya makin gembrot saja. Ikut program menjadi pemain sumo, ya?" candaku kembali.
Kali ini, Lastri tidak tertawa sehingga membuatku penasaran. Dia kemudian memegang tanganku dan mengajakku duduk dekat dengannya.
"Ada apa, Lastri?" tanyaku.
"Bram, saya mau cerita sama kamu."
"Cerita apa," aku menatap wajah Lastri yang kelihatan serius.
"Bram, mungkin kamu menganggap aku bahagia berada di tempat ini karena melihat badanku yang gemuk. Tapi, sebenarnya aku tidak merasa bahagia. Aku sudah tidak tahan lagi hidup di tempat ini. Aku sudah bosan. Aku muak melihat sikap teman-temanku yang begitu munafik apabila berada di depan manajer perusahaan. Aku mau pulang kampung saja, Bram" suara Lastri datar.
"Lastri, apakah kamu serius? Apakah kamu sudah memikirkannya dengan matang?" tanyaku padanya.
"Aku serius dan mungkin ini perjumpaan kita yang terakhir kalinya."
"Jangan pernah katakan itu, Lastri. Kita sudah pernah berjanji akan berjalan bersama. Janji itu adalah utang, dan kita akan melunasinya bersama. Saya yakin badai itu akan segera berlalu dari hidupmu. Dan, ingatlah, Las, apabila kamu keluar dari perusahaan tempatmu bekerja ini siapa lagi yang akan membiayai kebutuhan keluargamu. Cobalah untuk memahami teman-temanmu" kataku meyakinkannya.
"Tapi …"
"Tidak ada tapi – tapi, kamu harus berjuang. Ok." Aku kemudian menjabat tangannya. Jabatan tangan yang terakhir kalinya. Delapan bulan kemudian, aku menerima kabar dari seorang temannya bahwa Lastri menarik diri dari perusahaannya .
"Tuhan, di manakah Lastri berada sekarang? Aku ingin bertemu dengannya. Ada hal yang ingin kukatakan padanya. Aku memohon kepada-Mu, agar kiranya Engkau kelak mempertemukan kami suatu hari nanti," pintaku dalam hati sebelum berlabuh kembali dalam dunia tidurku.
***
"Bram, apakah kita jadi joging nanti sore," tanya Nando selepas makan siang.
"Ya, kita joging nanti. Tapi, tujuannya …"
"Ya, aku sudah tahu. Kamu tidak perlu khawatir. Kita akan menemui teman-teman Lastri " Nando memotong pembicaraanku.
Sore itu, aku dan Nando akhirnya joging. Tidak lama, hanya sekitar satu jam. Setelah itu, aku dan Nando menjumpai teman-teman Lastri satu perusahaan untuk menanyakan keberadaannya sekarang ini.
"Selamat sore, Agnes. Saya Bram, teman Lastri yang pernah menghubungi kamu untuk bertanya tentangnya," sapaku sambil memperkenalkan diri.
Agnes kemudian menatapku. "Oh, jadi kamu yang namanya Bram. Saya hampir tidak mengingat wajah kamu," ucap Agnes berterus terang padaku.
"Apakah kamu sudah mendapatkan nomor atau alamat Lastri yang dapat saya hubungi," tanyaku padanya.
"Maaf, Bram, sebenarnya saya sudah mendapatkannya. Tapi, saya dipesankan agar tidak memberitahukannya pada kamu saat ini."
"Kenapa ???" tanyaku penasaran.
"Saya tidak tahu. Lastri tidak mau mengatakan alasannya saat saya menanyakan tentang itu."
"Terimakasih, Agnes. Saya permisi dulu, mau menjumpai teman yang lain," ucapku sambil berlalu dari hadapannya dengan langkah gontai.
"Memangnya untuk apa alamat itu," tanya Agnes menahan langkahku.
"Ada yang ingin saya katakan padanya."
***
"Bagaimana, Bram. Apakah kamu sudah mendapatkan alamat yang kamu cari," tanya Nando saat kami pulang.
"Gagal, Nando. Mereka tidak ada satu pun yang mau memberitahukan alamat Lisa kepadaku," ucapku dengan nada kecewa.
"Ehmm … mungkin mereka takut," Nando mereka-reka.
"Apa yang mereka takutkan."
"Ya, mungkin mereka takut dianggap tidak setia pada janji," ucap Nando menjelaskan.
"Ya, aku rasa mungkin begitu."
"Bram, lagian untuk apa sih kamu susah-susah mencari alamat si Lastri? Aku kira belum tentu dia mengingat kamu di seberang sana.
"Nando, meskipun Lastri tidak mengingatku, namun aku tak bisa melupakan dia secepat ini. Dia sahabatku yang paling baik selama ini."
"Sudahlah, Bram, kamu jangan sedih begitu dong. Aku jadi ikut sedih nih," Nando mengangkat kepalaku yang tertunduk.
"Nando, ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya?"
"Memangnya, apa yang ingin kau katakan," tanya Nando.
"Maaf, Nando, aku tidak bisa memberitahukannya padamu. Aku ingin langsung menyampaikan kepadanya."
"Baiklah, aku tak mau menuntut. Sekarang, aku mau memberi saran pada kamu. Lebih baik kamu mendoakan dia daripada terus sedih begini."
"Makasih atas saranmu. Aku pasti akan melaksanakannya," ucapku sambil beranjak dari tempat dudukku.
Sesampainya di kamar, aku langsung mengambil buku agenda. Di atas kertas putih itu, aku menumpahkan segala isi hatiku. Lastri, aku tahu bahwa kau tak menginginkan diriku mengetahui keberadaanmu. Aku tahu bahwa kau takut menyusahkan diriku. Sebagai seorang teman aku sungguh menghargai itu. Namun, sebagai seorang teman aku juga bertanya atas semuanya itu. Mengapa kau meninggalkanku. Bukankah persahabatan itu kekal abadi?
Las, di atas kertas putih ini kusampaikan kepadamu, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang mau kukatakan padamu. Perkataan yang hanya aku dan kau yang tahu. Apa itu?