Selasa, 08 November 2011

Tugas Umum 2


NAMA : OKTARISA YOHANA MARIA
KELAS  : 2EB22
NPM  :25210262

Senyum Termanis Ibuku

            Udara masih dingin, kala ibu bangun dari tidurnya. Dalam keremangan lampu teplok, tangannya yang kasar mengangkat karung berisi sayur-sayuran. Pukul 03.00 WIB, pada jam itu ibu biasa berang ke pasar. Sementara kami, anak-anaknya, sepagi itu masih terlelap dalam tidur. Mimpi membuai kami.
            Tetapi ibu tidak pernah menuntut agar kami seperti dirinya. Bangun pagi-pagi benar. Justru sebaliknya, ibu melarang kami bangun hanya untuk membantunya. Ibu hanya menuntut supaya kami tekun belajar. Itu saja, tak lebih. Dia ingin kami dapat menjadi guru, pengusaha, atau pejabat. Bukan seperti dirinya yang adalah penjual sayur.
            Sepuluh tahun sudah ibu menekuni pekerjaan itu sendirian. Sedangkan ayahku sudah berbahagia di alam sana. Dia meninggal akibat kecelakaan. Waktu itu aku menyaksikannya langsung. Ayah ditabrak oleh sopir angkot. Dia mati di tempat. Meski sopir angkot itu bertanggung jawab, ibu tak bisa menuntut apa-apa sebagai ganti rugi. Sopir angkot itu sama seperti kami miskinnya. Mau dituntut masuk penjara oleh keluarga kami yang lain, kasihan kata ibu.
            “Cukuplah hanya kita kehilangan sosok ayah. Jangan biarkan ikut anak-anaknya. Saya yakin dia tidak bermaksud menabrak suami saya”. Kata-kata ibu membuat terharu orang yang mendengarnya. Bahkan sopir itu berurai air mata sujud di depan ibu. Dia minta maaf sedalam-dalamnya.
            Meski ibu hanyalah penjual sayur, aku bangga kepadanya. Perjuangan dan kegigihannya memenuhi kebutuhan lima anaknya memotivasiku untuk menghargai waktu. Time is Money. Kata-kata itu menjadi moto hidupku. Selama jam pelajaran, aku sering mendengarkan pelajaran yang diberikan guruku. Siang, seusai sekolah aku bekerja menjadi pelayan di sebuah rumah makan. Malam, sesudah mengulang pelajaran aku membantu ibu menyusun sayur-sayuran ke dalam karung. Bukan aku saja seperti itu. Keempat adikku juga begitu menghargai waktu, meski ibu tak pernah mengatakannya. Mereka yang tidak bekerja seusai sekolah, menjalankan tugas di rumah dengan baik. Ada yang memasak, membersihkan rumah, dan mencuci piring. Pokoknya ibu tak pernah menggerutu karena rumah tidak teratur.
            Terkadang orang merasa kasihan melihat keadaan kami. Tapi aku merasa kami tak perlu dikasihani. Aku tetap merasa bahagia dengan keadaan kami, meski hidup pas-pasan. Hanya sayang, kebahagiaan itu untuk sementara waktu ini tak lagi menjadi bagian hidupku. Setamat SMA ibu menganjurkanku untuk kuliah. Entah sudah berapa alasan yang kuberikan, ibu tetap pada pendiriannya.
            Seakan tahu apa yang kupikirkan ibu  mengeluarkan setumpuk uang dari laci meja di kamar ibu. “Uang ini hasil jerih payah ayahmu selama hidupnya. Ibu tak pernah menyentuhnya, karena ia berpesan agar uang ini digunakan untuk pendidikanmu”, derai air mata membasahi wajah kusam ibu. Aku pun larut dalam kesedihan.
            Sejenak kami pun diam, membayangkan ayah kembali hadir di depan mata. Lalu, untuk mencairkan keadaan aku pun mengatakan pada ibu bahwa aku akan melaksanakan perintahnya. Esoknya aku pun bertanya kepada Kepala Sekolah. Dari beliau aku dianjurkan untuk mengikuti testing masuk Perguruan Tinggi Negeri di Jawa. Syukur pada Tuhan, aku diterima masuk.
            Akhirnya apa yang kuinginkan itu terjadi. Dengan berat hati, untuk yang pertama kalinya aku harus meninggalkan ibu yang kucintai dan adik-adikku. Air mata mereka pun berlinangan membasahi pundakku. Sebenarnya aku pun ingin menangis. Tapi aku menahannya. Aku tak ingin menambah kesedihan keluargaku.
            Babak baru pun dimulai dalam hidupku. Empat tahun lamanya aku bergelut sendirian. Tak ada sanak – keluarga, tak ada kenalan. Suasana begitu berubah. Orang-orang yang kuhadapi tak seperti orang-orang kampung. Bila di kampung aku tak begitu memusingkan diri dengan urusan make up. Tapi di kota ini, aku mulai minder dengan diriku. Make up telah membuat wajah teman-temanku lebih cantik dari aslinya. Tambah lagi dengan berbagai jenis sepatu dan tas yang mereka kenakan. Mereka seperti bintang film.
            Situasi ini pun menimbulkan pergulatan dalam diriku. Sempat tebersit niat dalam diriku, setidaknya untuk membeli make up dengan uang kiriman dari ibu. Tapi ketika aku sudah berada di toko, wajah adik-adikku dan ibu langsung hadir di depan mataku. Ya, aku pun sadar tak untungnya juga aku bergaya-gaya segala. Toh aku datang ke kota ini untuk menuntut ibu. Wajah kampungku masih lumayan tanpa make up. Dengan wajah kampungku, aku masih layak dibawa ke pesta-pesta.
            Empat tahun lamanya aku bergelut dengan diktat-diktat tebal. Di luar dugaanku aku bisa menyelesaikan seluruh SKS-ku dengan cepat dan hasil memuaskan. Aku pun mendahului teman-temanku wisuda. Dan salah satu dosenku langsung menawarkan kepadaku untuk bekerja di perusahaannya. Sungguh bahagia hatiku.
            Kebahagiaan itu bertambah tak kala aku di wisuda. Tak kusangka ibu yang sudah kuberitahukan sebelumnya hadir bersama seorang adikku. Dia mengenakan kebaya pernikahannya. Dan, untuk pertama kalinya sesudah ayah meninggal ibu tersenyum dengan manis, saat namaku dipanggil menjadi salah satu mahasiswa terbaik. Aku mencintaimu, ibu.